Silahkan Klik

Sabtu, 17 Maret 2012

Kualitas tes Objektif


2.1        TesHasilBelajar
Istilah tes diambil dari kata testum suatu pengertian dalam bahasa prancis kuno yang berarti piring untuk menyisihkan logam-logam mulia. Adapula yang mengartikan sebagai sebuah piring yang dibuat dari tanah.
Seorang ahli yang bernama James MS.Cattel, pada tahun 1890 telah memperkenalkan pengertian tes ini pada masyarakat melalui bukunya yang berjudul Mental test and measurement. Selanjutnya diAmerika Serikat tes ini berkembang dengan cepat sehingga dalam tempo yang tidak begitu lama masyarakat mulai menggunakanya.
Banyak ahli yang mulai mengembangkan tes ini untuk berbagai bidang, namun yang terkenal adalah sebuah tes intelejensi yang disusun oleh seorang perancis bernama Binet, yang kemudian dibantu penyempurnaannya oleh Simon, sehingga tes tersebut di kenal sebagai tes Binet-Simon ( 1904 ). dengan alat ini Binet dan Simon berusaha untuk membeda-bedakan anak menurut tingkat intelegensinya. dari pekerjaan Binet dan Simon inilah kemudian kita kenal istilah–istilah: umur kecerdasan ( Mental age ), umur kalender ( chronological age ), indeks kecerdasan ( intellegence quotient ).
sebagai perkembanganya, Yerkes di amerika serikat menyusun tes kelompok (group test) yang digunakan untuk menyeleksi calon milliter sebanyak-banyaknya dalam waktu yang singkat kerna diperlukan pada waktu perang dunia 1. test ini dikenal dengan nama Army Alpha dan Army Betha.
didorong oleh munculnya statistik dalam penganalisisan data dan informasi, maka akhirnya tes ini digunakan dalam berbagai bidang seperti tes kemampuan dasar, tes kesalahan pelatihan, tes keingatan, tes minat, tes sikap, dan sebagainya. yang tekenal penggunaanya disekolah hanyalah tes prestasi belajar. 

2.2        Prinsip-prinsipDasarTesHasilBelajar
Ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan di dalam menyusun tes hasil belajar agar tes tersebut benar-benar dapat mengukur tujuan pembelajaran yang telah diajarkan, atau mengukur kemampuan dan atau keterampilan siswa yang diharapkan setelah siswa menyelesaikan suatu unit pengajaran tertentu. Menurut Purwanto (2004:23), prinsip-prinsip dasar tersebut adalah:
1.      Tes tersebut hendaknya dapat mengukur secara jelas hasil belajar (learning outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan instruksional. Jika tujuan tidak jelas, maka penilaian terhadap hasil belajar pun tidak akan terarah sehingga akhirnya hasil penilaian tidak mencerminkan isi pengetahuan atau keterampilan siswa yang sebenarnya. Dengan kata lain, hasil penilaian menjadi tidak valid, yaitu tidak mengukur apa yang sebenarnya harus diukur. Oleh karena itu, untuk dapat menyusun tes yang baik, setiap guru harus dapat merumuskan kompetensi dasar dengan jelas, terutama indikatornya sehingga memudahkan baginya dalam menyusun soal-soal tes yang relevan untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi dasar yang telah dirumuskannya.
2.      Mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar dan bahan pelajaran yang telah diajarkan. Tes yang kita susun haruslah mencakup soal-soal yang dianggap dapat mewakili seluruh performance hasil belajar siswa, sesuai dengan kompetensi dasar yang telah dirumuskan. Untuk dapat menyusun soalsoal tes yang benar-benar merupakan sampel yang representatif dalam mengukur hasil belajar siswa, guru hendaknya terlebih dahulu menyusun table spesifikasi atau kisi-kisi yang memuat standar kompetensi atan kompetensi dasar dari bahan pelajaran yang telah diajarkan dan penentuan jumlah serta jenis soal yang disesuaikan dengan kompetensi dasar dari setiap standar kompetensi yang bersangkutan.
3.      Mencakup bermacam-macam bentuk soal yang benar-benar cocok untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan tujuan. Kita telah mempelajari bahwa tujuan pengajaran itu bermacam-macam menurut jenis dan tingkat kesukarannya. Hasil belajar dari tiap-tiap topik bahan pelajaran tidak selalu sama. Setiap jenis alat evaluasi dan setiap macam bentuk soal hanya cocok untuk mengukur suatu jenis kemampuan tertentu. Oleh karena itu, penyusunan suatu tes harus disesuaikan dengan jenis kemampuan hasil belajar yang hendak diukur dengan tes tersebut.
4.      Didesain sesuai dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Dalam evaluasi pendidikan yang menyangkut hasil belajar, kita mengenal ada empat macam kegunaan tes, yaitu: (1) tes untuk penentuan penempatan siswa dalam suatu jenjang atau jenis program pendidikan tertentu (placement test); (2) tes untuk mencari umpan balik guna memperbaiki proses belajar mengajar bagi guru maupun siswa (test formatif); tes untuk mengukur atau menilai sampai di mana pencapaian siswa terhadap bahan pelajaran yang telah diajarkan, dan selanjutnya untuk menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan siswa yang bersangkutan (test sumatif); dan (4) tes untuk mencari sebab-sebab kesulitan belajar siswa (test diagnostik).
5.      Dibuat seandal (reliable) mungkin sehingga mudah diinterpretasikan dengan baik. Suatu alat evaluasi dikatakan andal (reliable) jika alat tersebut dapat menghasilkan suatu gambaran (hasil pengukuran) yang benar-benar dapat dipercaya. Suatu tes dapat dikatakan andal (memiliki keandalan yang tinggi) jika tes itu dilakukan berulang-ulang terhadap objek yang sama, hasilnya akan tetap sama atau relatif sama.
6.      Digunakan untuk mencari informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara mengajar guru itu sendiri (evaluasi formatif).
2.3        PersyaratanTes
Sebuah tes dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur bila memenuhi persyaratan tes. Adapun persyaratan tes yang baik adalah valid, reliable, objektif, praktis dan ekonomis. Persyaratan tes yang paling utama adalah valid. Sebuah tes disebut valid apabila tes itu dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur. Validitas yaitu ketepatan mengukur yang dimiliki oleh sebutir item (yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tes sebagai suatu totalitas), dalam mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir item tersebut (Sudijono, 2001:182).
Menurut SuharsimiArikunto (2002), persyaratan tes yang baik adalah valid, reliable, objektif, praktis dan ekonomis.
1.    Validitas tes
Suharsimi Arikunto (2002) menjelaskan terdapat empat bentuk validitas, yaitu: (1) Validitas isi, (2) Validitas konstruksi, (3) Validitas yang ada sekarang, (4) Validitas prediksi. Sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi apabila tes tersebut mengukur tujuan tertentu sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan.
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas konstruksi apabila butir-butir soal yang membangun tes tersebut mengukur tiap aspek berfikir seperti yang disebut dalam tujuan instruksional khusus.
Adapun sebuah tes dikatakan memiliki validitas ada sekarang (concurrent validity) jika hasilnya sesuai dengan pengalaman. Sedang sebuah tes dikatakan memiliki validitas prediksi atau validitas ramalan apabila mempunyai kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
2.    Reliabilitas
Suatu tes dapat dikatakan mampu mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tepat. Maka pengertian reliabilitas tes, berhubungan dengan masalah ketetapan hasil tes.
Menurut Suharsimi Arikunto (2002), untuk melakukan analisis reliabilitas suatu tes dapat digunakan beberapa metodee yaitu: metode bentuk paralel (equivalen), metode tes ulang (test-retest-metod), dan metode belah dua (splid-hal-metod).
Dengan demikian, untuk memperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan syarat-syarat penilaian (valid dan reliabel) maka pemilihan alat penilaian menjadi sangat penting. Hal disebabkan karena kemampuan diri siswa yang akan diungkap ditentukan oleh alat penilaian yang akan digunakan.
3.    Objektivitas
Sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam pelaksanaan apabila dalam tes itu tidak ada faktor subjektif yang mempengaruhi. Hal ini terjadi pada sistem pada sistem skoring.
Ada dua faktor yang mempengaruhi subjektivitas dari suatu tes yaitu bentuk tes dan penilai.
a.       Bentuk tes
Tes yang berbentuk uraian akan memberikan banyak kemungkinan kepada si pemakai untuk memberikan penilaian menurut caranya sendiri. Dengan demikian maka hasil dari seorang siswa yang mengerjakan soal-soal dari sebuah tes, akan dapat berbeda apabila dinilai oleh dua orang penilai. Untuk menghindari masuknya unsur subjektivitas dari penilai, maka sistenm skoringnya dapat dilakukan dengan membuat pedoman skoring terlebih dahulu.
b.      Penilaian
Subjektivitas dari penilai akan dapat masuk karena secara agak leluasa terutama dalam tes bentuk uraian. Faktor-faktor yang mempengaruhi subjektivitas yaitu kesan penilai terhadap siswa, tulisan, waktu mengadakan penilaian, bahasa, kelelahan dan sebagainya. Untuk menghindari masuknya unsur subjektivitas dalam pekerjaan penilaian, maka penilaian harus dilaksanakan dengan pengingat pedoman. Pedoman yang dimaksud, terutama menyangkut masalah pengadministrasian yaitu kontinuitas dan komprehensivitas. Dengan penelitian yang kontinu (terus menerus) maka penilaian akan memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keadaan siswa. Adapun komprehensif di sini mencakup keseluruhan materi, aspek berfikir (ingatan, pemahaman, aplikasi dan sebagainya), dan berbagai cara tes (tertulis, lisan, perbuatan dan sebagainya).
4.    Praktibilitas
Sebuah tes disebut praktis apabila mudah dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan dilengkapi dengan petunju-petunjuk yang jelas.
a.    Mudah dilaksanakan, misalnya tidak menuntut peralatan yang banyak dan memberi kebebasan kepada siswa untuk mengerjakan terlebih dahulu bagian yang dianggap mudah oleh siswa.
b.    Mudah memeriksanya artinya, bahwa tes itu dilengkapi dengan kunci jawaban dengan pediman skoringnya.
c.    Adapun kelengkapan petunjuk suatu tes dimaksudkan agar tes tersebut dapat diberikan oleh orang lain.
5.    Ekonomis
Ekonomis di sini ialah bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.
Usaha lain yang harus dilakukan memastikan kualitas tes adalah dengan penganalisisan butir soal. Analisis butir soal adalah suatu prosedur yang sistematis, yang akan memberikan informasi-informasi yang sangat khusus terhadap butir soal yang kita susun (Suharsimi Arikunto, 2002:205). Analisis butir soal bertujuan untuk mengidentifikasi soal-soal yang baik, kurang baik, dan soal yang jelek. Ada tiga cara dalam menganalisis butir soal, yaitu taraf kesukaran, daya pembeda dan pola jawaban soal.
a.    Taraf kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi usaha memecahkannya. Sebaliknya soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa menjadi putus asa dan tidak mempunyai semangat untuk mencoba lagi karena diluar jangkauannya. Menurut ketentuan yang sering diikuti, indeks kesukaran sering diklasifikasikan dengan TK 1,00 sanpai 0,30 adalah soal sukar, TK 0,30 sampai 0,70 adalah soal sedang, dan 0,70 sampai 1,00 adalah soal mudah.

b.    Daya pembeda
Daya pembeda adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah). Klasifkasi daya pembeda adalah 0,00 – 0,20 = jelek, 0,20 – 0,40 = cukup, 0,40 – 0,70 = baik, 0,70 – 1,00 = baik sekali.
c.       Pola jawaban soal (Analisis Distraktor)
Pola jawaban soal mengkaji distribusi peserta tes (tester) dalam hal menentukan pilihan jawaban pada soal bentuk pilihan ganda. Pola jawaban soal diperoleh dengan menghitung banyaknya tester yang memilih pilihan jawaban a,b,c atau r atau tidak melilih jawaban manapun. Dari pola jawaban soal dapat ritentukan apakah pengecoh (distraktor) berfungsi sebagai pengecoh dengan baik atau tidak. Suatu distraktor dapat dikatakan berfungsi baik jika paling sedikait oleh 5% pengikut tes (Suharsimi Arikunto.2002).
2.4        PengertianTesObjektif
Tes objektif adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang terdiri dari butir-butir soal (items) yang dapat dijawab oleh testee dengan jalan memilih salah satu atau lebih jawaban di antara beberapa kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada masing-masing items, atau dengan jalan menuliskan (mengisikan) jawaban berupa kata-kata atau simbol-simbol tertentu pada tempat yang telah disediakan untuk masing-masing butir item yang bersangkutan.
Tes pilihan ganda memiliki semua persyaratan sebagai tes yang baik, yakni dilihat dari segi objektivitas, reliabilitas, dan daya pembeda antara siswa yang berhasil dengan siswa yang gagal atau bodoh. Sebagian besar guru merasakan bahwa tes objektif tipe pilihan ganda juga efektif dalam mengungkap materi pembelajaran dengan cakupan pengetahuan yang lebih kompleks, dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi.


2.5        Keunggulandankelemahantesobjektif
Keunggulan Tes Objektif
1.      Tes Objektif dapat digunakan untuk mengukur proses berpikir rendah sampai dengan sedang (ingatan, pemahaman, dan penerapan).
2.      Dengan menggunakan tes objektif maka semua atau  2. Dengan menggunakan tes objektif maka semua atau sebagian besar materi yang telah diajarkan dapat ditanyakan saat ujian
3.      Dengan menggunakan tes objektif maka pemberian skor pada setiap siswa dapat dilakukan dengan cepat, tepat dan konsisten karena jawaban yang benar untuk setiap butir soal sudah jelas dan pasti
4.      Dengan tes objektif khususnya pilihan ganda, akan memungkinkan untuk dilakukan analisis butir soal.
5.      Tingkat kesukaran butir soal dapat dikendalikan.
6.      Informasi yang diperoleh dari tes objektif lebih kaya.
Kelemahan Tes Objektif
1.      Walaupun tes objektif dapat digunakan untuk mengukur semua proses berpikir dalam ranah kognitif mulai dari jenjang berpikir sederhana (ingatan) sampai dengan jenjang berpikir tinggi  (ingatan) sampai dengan jenjang berpikir tinggi (kreasi), tetapi pada kenyataannya butir soal yang diujikan kepada siswa atau mahasiswa kebanyakan hanya mengukur proses berpikir rendah.
2.      Membuat pertanyaan tes objektif yang baik lebih sukar daripada membuat pertanyaan tes uraian.
3.      Kemampuan anak dapat terganggu oleh kemampuannya dalam membaca dan menerka.
4.      Anak tidak dapat mengorganisasikan, menghubungkan, dan menyatakan idenya sendiri karena semua alternatif jawaban untuk setiap pertanyaan sudah diberikan oleh penulis soal.


2.6        Langkah-Langkah Menyusun Soal
A.    Mengumpulkan SAP(Satuan Acara Pemblajaran)/GBPP (Garis Besar Program Pengajaran
Biasanya suatu sekolah / lembaga pendidikan telah mempunyai SAP/GBPP untuk setiap mata kuliah. SAP/GBPP berisikan pokok-pokok  bahasan yang akan di ajarkan dalam satu semester. SAP/GBPP diperlukan pada waktu kita membuat kisi-kisi soal agar soal yang di buat mewakili semua pokok bahasan  yang ada  sehingga akhirnya dapat dilihat apakah tujuan pembelajaran tercapai atau tidak.
B.     Menyusun Kisi-Kisi Soal
Menyusun kisi-kisi merupakan langkah awal yang harus dilakukan setiap kali menyusun tes dan menulis soal. Dengan adanya kisi-kisi, penyusun soal dapat menghasilkantes yang relative sama. Kisi-kisi tes adalah suatu format  atau matrik yang memuat kreteria butir soal yang diperlukan dalam menyusun tes. Oleh karena itu, kisi-kisi yang baik harus memenuhi beberapa kareteria sebagai berikut:1) Dapat menggambarkan keterwakilan isi  kurikulum.2) Komponen yang membentuk kisi-kisi harus jelas, rinci, dan mudah dipahami.3) Setiap indikator dapat di tuliskan butir soalnya.
C.    Menyusun Soal 
1.      Soal dapat disusun dalam bentuk tes objektif maupun tes esai. Sebagai bahasan dalam tulisan ini  penulis memilih bentuk tes objektif dengan bentuk soal Tes Pilihan Ganda (TPG). Jumlah soal yang disusun harus melebihi jumlah yang dibutuhkan. dan disusun sesuai kisi-kisi. Sukar atau mudahnya suatu soal bukan semata-mata ditentukan oleh materi soal., akan tetapi ditentukan juga oleh teknik penyusunannya.  Beberapa butir pernyataan yang  merupakan bagian pokok dalam pedoman  umum penulisan butir soal TPG adalah sebagai berikut : 1. Butir soal harus sesuai dengan indikator. 
2.      Pokok soal dan pilihan jawaban harus di rumuskan secara jelas, singkat, padat,dantegas, sehingga perumusan tersebut hanya mencakup pernyataan yang diperlukan saja.
3.      Pokok soal jangan memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar.  
4.      Pokok soal dan pilihan jawaban tidak mengandung pernyataan yang bersifatnegatif ganda. 
5.      Pilihan jawaban yang merupakan kunci jawaban harus menunjukan kebenaranmutlak dan terbaik.
6.      Pilihan jawaban harus homogen dan logis secara materi dan bahasa.
7.      Panjang rumusan pilihan jawaban harus relatif sama. 
8.      Pilihan jawaban sebaiknya jangan memakai bunyi “semua pilihan jawaban di atassalah “atau “semua pilihan jawaban di atas benar”.
9.      Pilihan jawaban berbentuk angka harus di susun berdasarkan urutan kecil ke besaratau sebaliknya.
D.    Melaksanakan Uji coba tes
Agar memperoleh soal/tes yang baik maka soal/test harus di uji coba terlebih dahulu dan hasilnya dianalisis sehingga  memenuhi syarat-syarat tes yang baik. Peserta uji coba adalah mahasiswa yang mempunyai status sama dengan peserta tes yang sebenarnya.
E.     Membuat skor 
Setelah soal diuji coba maka selanjutnya di buat skor masing-masing mahasiswa. Bila mahasiswa menjawab benar di  beri skor  1, bila mahasiswa menjawab salah atau tidak menjawab di beri skor 0. Semua skor yang di peroleh untuk setiap mahasiswa ditabelkan

Kualitas tes Subjektif


2.1 Pengertian Tes Subjektif
            Secara ontologis tes subjektif adalah salah satu bentuk tes tertulis, yang susunannya terdiri atas item-item pertanyaan yang masing-masing mengandung permasalahan dan menuntut jawaban siswa melalui uraian-uraian kata yang merefleksikan kemampuan berpikir siswa (Sukardi, 2008). Menurut Suherman (1993) tes subjektif adalah tes yang menuntut siswa untuk dapat menyusun dan memadukan gagasan-gagasan tentang hal-hal yang telah dipelajarinya, dengan cara mengekspresikan atau mengemukakan gagasan tersebut secara tertulis dengan kata-kata sendiri.
Senada dengan itu, menurut Oemar Hamalik (2001) tes subjektif adalah salah satu bentuk tes yang terdiri dari satu atau beberapa pertanyaan subjektif, yakni pertanyaan yang menuntut jawaban tertentu oleh siswa secara individu berdasarkan pendapatnya sendiri. Setiap siswa memiliki kesempatan memberikan jawabannya sendiri yang berbeda dengan jawaban siswa lainnya.
Tes subjektif juga dapat disebut sebagai tes dengan menggunakan pertanyaan terbuka, dimana dalam tes tersebut siswa diharuskan menjawab sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, menurut Suherman, E (1993) tes subjektif juga sering disebut sebagai tes uraian karena untuk menjawab soal siswa dituntut untuk menyusun jawaban secara terurai. Jawaban tidak cukup hanya dengan satu atau dua kata saja, tetapi memerlukan uraian yang lengkap dan jelas. Selain harus menguasai materi tes, siswa dituntut untuk bisa mengungkapkannya dalam bahasa tulisan dengan baik.
Tes subjektif yang biasa dipakai di sekolah mempunyai arti yang luas, yaitu tidak hanya mengukur kemampuan siswa dalam menyajikan pendapat pribadi, melainkan juga menuntut kemampuan siswa dalam hal menyelesaikan hitungan, menganalisis masalah, dan mengekspresikan pendapat.
2.2      Kelebihan dan Kelemahan Tes Subjektif
Dalam pembelajaran di kelas, tes subjektif masih banyak digunakan oleh para guru, karena tes subjektif memiliki beberapa kelebihan. Menurut Sukardi, H.M (2009) tes subjektif dapat digunakan untuk menilai hal-hal berkaitan erat dengan beberapa butir berikut.
a.       Mengukur proses mental para siswa dalam menuangkan ide ke dalam jawaban item secara tepat.
b.      Mengukur kemampuan siswa dalam menjawab melalui kata dan bahasa mereka sendiri.
c.       Mendorong siswa untuk mempelajari, menyusun, merangkai, dan menyatakan pemikiran siswa secara aktif.
d.       Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun dalam bentuk kalimat mereka sendiri.
e.        Mengetahui seberapa jauh siswa telah memahami dan mendalami suatu permasalahan atas dasar pengetahuan yang diajarkan di dalam kelas

Gronlund, N.E (1982) menyatakan bahwa karakteristik yang paling menonjol dari tes subjektif adalah kebebasan respon yang diberikan oleh para siswa. Karakteristik ini menjadi sebuah kelebihan dari tes subjektif. Pertanyaan dalam tes subjektif ini mengharuskan siswa untuk memproduksi jawaban mereka sendiri. Mereka relatif bebas untuk memutuskan bagaimana mendekati masalah, informasi faktual apa yang digunakan, bagaimana mengatur jawaban, dan apa penekanan yang diberikan pada setiap aspek jawabannya. Dengan demikian, tes subjektif dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memproduksi, mengintegrasikan, dan mengekspresikan ide-ide. Menurut Azhar, L.M (1991) salah satu kelebihan atau keuntungan tes subjektif yang lain adalah mencegah siswa menjawab secara menebak serta relatif lebih mudah dan lebih cepat dibuat dibandingkan dengan tes objektif.
Di samping beberapa kelebihan seperti yang telah diuraikan di atas, ternyata tes subjektif juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Menurut Suherman, E (1993) kelemahan tes subjektif di antaranya sebagai berikut.
a.        Ruang lingkup yang disajikan dalam bentuk tes subjektif kurang menyeluruh. Hal ini disebabkan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap butir soal cukup banyak, sehingga jumlah butir soal yang disajikan sedikit. Pada tes subjektif ini, jika siswa kebetulan mempelajari materi yang secara kebetulan sesuai dengan butir soal yang disajikan, ia dapat dengan mudah menyelesaikannya. Sebaliknya jika siswa tidak mempelajari dengan baik materi yang tersaji dalam soal itu biasanya mendapat hasil yang kurang baik.
b.       Sesuai dengan namanya, soal tipe subjektif ini dalam pemeriksaan dan pemberian nilai akhir seringkali dipengaruhi faktor subjektivitas dari pemeriksa atau pemberi nilai, sehingga nilai akhir yang diterima siswa ada kemungkinan bisa, kurang mencerminkan kemampuan sebenarnya. Faktor subjektivitas itu sebagai akibat pengaruh kondisi pemeriksa, siswa dan lingkungan.
c.         Pemeriksaan jawaban pada tes subjektif ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tetapi harus diperiksa oleh orang yang benar-benar ahli dalam bidangnya. Bila pemeriksa kurang mengetahui pokok persoalan yang diujikan, akan mengakibatkan hasil pemeriksaan yang dapat merugikan siswa. Demikian pula jika pemeriksa kurang memiliki pengetahuan luas mengenai cara penyelesaian suatu soal, mungkin langkah-langkah penyelesaian suatu soal tidak sama dengan kunci jawaban akan dianggap salah, padahal pekerjaan itu benar.
d.        Memeriksa jawaban tes subjektif cukup rumit sehingga memerlukan waktu yang cukup banyak. Pola jawaban siswa untuk soal bentuk ini bisa beraneka ragam, karena siswa diberi kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri. Pengetahuan yang telah diperoleh dan dikuasainya akan diutarakan sesuai dengan relevansi pada jawaban persoalan yang ditanyakan. Tiap siswa tentu akan memberikan uraian yang berlainan dan bermacam-macam, apalagi jika persoalannya divergen. Meskipun demikian dalam matematika keanekaragaman ini tidak akan jauh berbeda karena sifatnya eksak, lain halnya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Karena keanekaragaman itu, baik cara penyelesaian maupun alur pikiran yang terdapat di dalamnya, maka pemeriksaaan akan memerlukan banyak waktu dan melelahkan.
Kelemahan-kelemahan menurut Suherman, E (1993) di atas hampir sama dengan apa yang dinyatakan oleh Gronlund, N.E (1982). Selain kelemahan tersebut, Gronlund, N.E (1982) juga menyatakan bahwa kelemahan tes subjektif ini berkaitan dengan respon siswa. Karena siswa harus menulis jawaban dengan kata-kata sendiri, maka kemampuan menulis cenderung untuk mempengaruhi skor yang mereka terima. Miskin ekspresi dan kesalahan dalam menggunakan tanda baca, ejaan, dan tata bahasa biasanya mengurangi skor yang didapatkan.

2.3      Jenis-jenis Tes Subjektif
Dilihat dari luas-sempitnya (scope) materi/masalah yang ditanyakan, soal tes bentuk subjektif atau uraian memiliki dua bentuk, yaitu essay atau uraian terbatas (restricted response items) dan essay atau uraian bebas (extended respons items). Beberapa tahun ke belakang, Depdikbud menyebut kedua jenis soal ini dengan istilah tes uraian objektif dan tes uraian non-objektif. Walaupun sebenarnya jika dilihat lebih dalam, kedua jenis tes terakhir ini (uraian objektif dan uraian non-objektif) merupakan bagian dari tes subjektif terbatas, karena pengelompokkan tes uraian menjadi uraian objektif dan uraian non-objektif hanya didasarkan kepada pendekatan pemberian skor saja.
Perbedaan antara soal bentuk uraian objektif dengan uraian non-objektif terletak pada kepastian pemberian skor. Pada soal bentuk uraian objektif, kunci jawaban dan pedoman penskorannya lebih pasti (diuraikan secara jelas hal/ komponen yang di skor dan berapa skor untuk masing-masing komponen tersebut. Sedangkan pada soal uraian non-objektif pedoman penskoran dinyatakan dalam rentangan (0 – 4 atau 0 – 10), sehingga pemberian skor (penentuan kualitas jawaban) sedikit banyak akan dipengaruhi oleh unsur subjektif si pemberi skor. Untuk mengurangi subjektifitas ini, dapat dilakukan dengan cara membuat pedoman  penskoran secara rinci dan jelas, sehingga pemberian skor dapat relatif sama.


2.3.1  Tes Uraian Objektif
Tes uraian objektif adalah bentuk tes uraian yang butir soalnya memiliki sehimpunan jawaban dengan rumusan yang relatif lebih pasti, sehingga dapat dilakukan penskoran secara objektif (walaupun pemeriksa berbeda namun dapat menghasilkan skor yang relatif sama). Artinya model tes ini memiliki kunci jawaban yang pasti, sehingga jawaban benar bisa diberi skor 1 dan jawaban salah 0.
Anthony J. Nitko (1996) mengatakan bahwa tes subjektif terbatas tepat dipergunakan untuk mengevaluasi hasil belajar kompleks yang berupa kemampuan :
a.    menjelaskan hubungan sebab akibat
b.    melukiskan pengaplikasian prinsip-prinsip
c.    mengajukan argumentasi-argumentasi yang relevan
d.   merumuskan hipotesis-hipotesis dengan tepat
e.    merumuskan asumsi-asumsi yang tepat
f.     melukiskan keterbatasan-keterbatasan data
g.    merumuskan kesimpulan-kesimpulan secara tepat
h.    menjelaskan metoda dan prosedur
i.      hal-hal sejenis yang menuntut kemampuan siswa untuk melengkapi jawabannya.

2.3.2 Tes Uraian Non-Objektif
Tes Uraian Non-objektif adalah bentuk tes uraian yang butir soalnya memiliki sehimpunan jawaban dengan rumusan jawaban yang bebas, menuntut siswa untuk mengingat dan mengorganisasikan gagasan-gagasan (menguraikan dan memadukan gagasan- gagasan) pribadi atau hal-hal yang telah dipelajarinya dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis sehingga dalam penskorannya mengandung unsur subjektifitas (sukar dilakukan secara objektif)
Tes subjektif bebas tepat dipergunakan untuk mengevaluasi hasil belajar yang bersifat kompleks yang berupa kemampuan-kemampuan :

a.    menghasilkan, menyusun dan menyatakan ide-ide
b.    memadukan berbagai hasil belajar dari berbagai bidang studi
c.    merekayasa bentuk-bentuk orisinal, seperti mendisain sebuah eksperimen
d.   mengevaluasi nilai suatu ide

2.4      Jenis-jenis Pertanyaan dalam Tes Subjektif
            Kebebasan respon yang dihasilkan dari pertanyaan subjektif adalah bervariasi. Siswa mungkin diminta untuk memberikan respon yang singkat dan tepat, atau mereka mungkin diberikan kebebasan yang lebih luas dalam menentukan bentuk dan ruang lingkup jawaban mereka. Terkait dengan kebebasan respon di atas, menurut Gronlund, N.E (1982) pertanyaan subjektif dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu  ;
  1. Pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbatas (restricted-response questions)
Pertanyaan dengan jawaban terbatas memiliki kedudukan yang terbatas pada jawaban yang diberikan. Batas-batas subjek yang harus dipertimbangkan biasanya didefinisikan secara sempit dalam masalah dan jawabannya spesifik yang ditunjukkan dengan kata-kata seperti “daftarkan”, “definisikan”, dan “berikan alasan”. Dalam beberapa kasus, lebih lanjut jawaban dibatasi dengan menggunakan kata pengantar atau dengan menggunakan arah khusus :
Contoh:
Jelaskan manfaat relatif dari item tes objektif dan tes subjektif untuk mengukur hasil pembelajaran pada tingkat pemahaman! Maksimal jawaban satu halaman.
Membatasi bentuk dan ruang lingkup dari jawaban-jawaban pertanyaan subjektif memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah menyusun pertanyaan seperti itu dapat dibuat lebih mudah, lebih terkait langsung dengan hasil pembelajaran yang spesifik, dan menskor lebih mudah. Di sisi lain, pertanyaan dengan jawaban terbatas kurang baik untuk mengukur hasil pembelajaran pada tingkat sintesis dan evaluasi.

  1. Pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbuka (extended-response questions)
Pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbuka (extended-response questions) digunakan untuk mengukur hasil pembelajaran pada tingkat sintesis dan evaluasi. Pertanyaan ini memberikan kebebasan kepada siswa yang hampir tak terbatas untuk menentukan bentuk dan ruang lingkup jawaban mereka. Meskipun masih terdapat beberapa batasan-batasan, seperti batasan waktu atau batasan halaman, batasan pada bahan-bahan materi yang termasuk dalam jawaban dan bentuk jawaban dapat diminimumkan. Siswa harus diberikan kebebasan yang cukup untuk menunjukkan kemampuan sintesis dan evaluasi, dan cukup dikontrol untuk memastikan bahwa keahlian dan kemampuan intelektual akan dipanggil keluar oleh pertanyaan itu.
Pertanyaan dengan jawaban terbuka (exended-response question) menyediakan ide-ide kreatif yang terintegrasi, mengevaluasi secara keseluruhan material, dan merupakan pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Itu semua merupakan hasil belajar yang penting, dan tidak dapat diukur dengan jenis item-item tes lainnya oleh orang lain.