Sumber daya manusia (SDM), merupakan aset utama dalam
menggerakkan roda pembangunan. Tak pelak lagi, maju tidaknya suatu negara
sangat ditentukan oleh keberadaan dan kondisi SDM di negara itu. Oleh karena
itu, upaya untuk meningkatkan kualitas SDM bagi suatu negara merupakan suatu
keniscayaan. Guna mencapai tujuan ini diperlukan investasi. Tanggung jawab
masalah investasi untuk meningkatkan SDM tidak bisa hanya dibebankan pada salah
satu sektor pembangunan saja, tetapi harus menjadi tanggung jawab multisektoral
secara terintegrasi. Sektor-sektor penting yang secara langsung memiliki
kontribusi terhadap pengembangan kualitas SDM adalah pendidikan, peningkatan
gizi dan kesehatan, program kependudukan, dan pembinaan olahraga.
Dari berbagai bentuk investasi tersebut, investasi di bidang
pendidikan dapat dikatakan sebagai pemicu utama pengembangan SDM. Hal ini
didasarkan atas asumsi semakin maju sektor pendidikan akan semakin berkembang
pula sektor kesehatan, ekonomi, dan pengendalian laju penduduk. Oleh karena
itu, investasi untuk meningkatkan kualitas SDM tidak bisa lepas dari investasi
untuk sektor pendidikan. Salah satu investasi di sektor pendidikan yang
dilakukan pemerintah saat ini adalah pengadaan sarana pendidikan berupa buku.
Tulisan ini akan menyoroti kebijakan pemerintah dalam penyediaan buku, baik
buku pelajaran maupun nonpelajaran.
Kebijakan Penyediaan Buku Pelajaran
Buku pelajaran merupakan kebutuhan elementer untuk mendukung
program wajib belajar. Tak pelak lagi, ketersediaan buku pelajaran yang
berkualitas sangat dibutuhkan guna menunjang program yang diamanatkan oleh UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut.
Berkenaan dengan hal itu, sudah hampir dua tahun belakangan,
pemerintah mencanangkan program buku sekolah elektronik (BSE) yang dapat
diunduh secara gratis dari website Depdiknas. Melalui mekanisme penilaian,
pemerintah telah membeli hak cipta buku dari penulis dan penerbit untuk
dijadikan BSE. Untuk tujuan ini, Depdiknas mengalokasikan dana sebesar 20
miliar untuk pembelian hak cipta sebanyak 295 jilid buku.
Selain dalam bentuk softcopy, pemerintah juga memberi
keleluasaan kepada perusahaan maupun perorangan untuk menggandakan dan
memasarkan BSE dalam bentuk hardcopy (cetak). Untuk itu, pemerintah
mengeluarkan Permendiknas Nomor 13 Tahun 2008 tentang Harga Eceran Tertinggi
(HET) yang kemudian diubah dalam Permendiknas Nomor 28 Tahun 2008. Permendiknas
tersebut selain mengatur masalah harga juga mengatur spesifikasi BSE versi cetak.
Terlepas dari beberapa kelemahannya, kebijakan BSE ini
merupakan kebijakan yang cukup bagus. Kebijakan ini perlu dikembangkan lagi di
masa mendatang. Tentu saja mekanismenya perlu diperbaiki untuk meminimalisasi
kelemahan yang ada. Dari pengamatan penulis, beberapa kelemahan dari program
BSE sebagai berikut.
1.
Mekanisme Penilaian.
Banyak
buku yang lolos penilaian ternyata kualitasnya di bawah standar. Rendahnya
kualitas buku BSE dapat ditemui mulai dari yang bersifat kegrafikaan hingga
yang bersifat substansial. Kesalahan substansial bisa dilihat pada salah satu
buku Ekonomi SMA dimana terjadi kesalahan yang sangat fatal. Kenyataan ini
tentu sangat disayangkan karena dapat menggiring opini publik seolah-olah
pemerintah hanya memenuhi target untuk mendapatkan buku dalam jumlah tertentu
untuk dijadikan BSE.
2.
Transparansi
Diakui
atau tidak, mekanisme penilaian kurang transparan. Ini terlihat pada buku-buku
BSE untuk SMK. Tak seorang pun tahu kapan diadakan penilaian buku-buku SMK,
tahu-tahu sudah ada BSE untuk SMK di website milik Pusat Perbukuan (Pusbuk).
3.
Perencanaan
Kurang Matang
Untuk
mengunduh BSE secara gratis, diperlukan jaringan internet. Harus diakui, ini
merupakan langkah maju. Sayangnya, pemerintah tidak menyiapkan kapasitas sumber
daya manusia maupun infrastruktur jaringan internet di seluruh Indonesia.
Alih-alih mendapatkan buku secara gratis, masyarakat justru harus merogoh kocek
lebih dalam untuk mendapatkan buku yang diinginkannya.
4.
Mematikan
Iklim Berusaha
Sejak
diberlakukan BSE, PHK besar-besaran di industri penerbitan tidak dapat
dihindari. Banyak karyawan penerbitan yang harus kehilangan pekerjaan karena
pekerjaan mereka telah digantikan oleh pemerintah.
5.
Distribusi
Tidak Merata
Karena
penetapan harga eceran tertinggi (HET) oleh pemerintah terhadap BSE versi cetak
yang dinilai terlalu rendah, banyak pengganda enggan mendistribusikan ke daerah
terpencil. Alasannya jelas, biaya operasional tidak sesuai dengan margin karena
HET terlalu rendah. Spesifikasi Buku Tidak Sesuai
Akibat HET
pula, kualitas buku menjadi rendah. Ini terbukti dengan ditemukannya buku-buku
yang cetakannya tidak mendukung keterbacaan. Selain itu, banyak buku BSE yang
dicetak dengan kertas yang tidak sesuai dengan ketentuan. Para pengganda
bukannya tidak tahu sanksi yang akan didapat karena menyalahi ketentuan, tetapi
itu harus dilakukan untuk menekan biaya produksi. Ketidaksinkronan Pemerintah
Pusat dan Daerah
Dalam
pengadaan buku BSE tidak ada sinkronisasi antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Contohnya dalam pelaksanaan BOS maupun
blockgrant. Dalam beberapa kasus, ada sekolah yang mendapat bantuan buku-buku
mata pelajaran tertentu dari pemerintah pusat. Kemudian dari pemerintah
provinsi, sekolah tersebut juga mendapat buku pelajaran yang sama. Pemerintah
kabupaten/kota menginstruksikan pemanfaatan dana bantuan untuk membeli buku itu
lagi. Akibatnya, di satu sisi sekolah mendapat buku suatu mata pelajaran
terlalu berlebih, di sisi lain buku mata pelajaran lain tidak ada.
Dari beberapa kasus di atas, tidak berlebihan jika kemudian
muncul spekulasi dari masyarakat bahwa BSE sepertinya hanya merupakan
pensiasatan pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab pendanaan di sektor
perbukuan. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena pendidikan akan
semakin sulit dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Tentu saja ini sangat
kontraproduktif dengan kebijakan BSE itu sendiri pada khususnya dan penuntasan
wajib belajar pada umumnya.
Jika kelemahan-kelemahan di atas dapat dihilangkan, bukan
tidak mungkin kebijakan BSE menjadi sangat populer di mata masyarakat. Untuk
itulah diperlukan solusi demi perbaikan kebijakan BSE di masa mendatang.
Berikut ini beberapa solusi.
- Penilaian dilakukan seketat mungkin. Untuk satu mata pelajaran, dipilih 5 (lima) saja dari yang terbaik. Lima buku terpilih ini harus melalui proses revisi sebelum mendapatkan rekomendasi.
- Sosialisasi penilaian dilakukan setransparan mungkin agar didapat banyak buku untuk diseleksi. Semakin banyak buku yang masuk, semakin ketat pula persaingan sehingga semakin berbobot.
- Pemerintah menentukan HET yang rasional dengan melibatkan lembaga-lembaga terkait, misalnya PPGI, IKAPI, dan YLKI.
- Hak pemasaran dikembalikan kepada penerbit pemilik naskah dengan kewajiban, penerbit tersebut harus mampu memasarkan ke seluruh Indonesia dengan HET yang telah ditetapkan.
- Koordinasi antara pusat dan daerah berkaitan dengan proyek pengadaan buku diintensifkan. Untuk itu perlu data base penyediaan buku di seluruh Indonesia.
Kebijakan
Penyediaan Buku Nonpelajaran
Kebijakan pemerintah dalam penyediaan buku nonpelajaran
merupakan kebijakan yang sangat baik. Selain sangat akomodatif terhadap tujuan
pendidikan, kebijakan ini juga menjadi penyulut bagi industri penerbitan untuk
menggeliat lagi.
Kebijakan penyediaan buku nonpelajaran yang dilakukan
pemerintah meliputi buku pengayaan, buku referensi, dan buku panduan
pendidik. Mekanisme yang dilakukan pemerintah sudah cukup bagus, yaitu
melalui proses seleksi oleh Pusbuk bekerja dengan Panitia Penilain Buku NontTeks
Pelajaran (PPBNP).
Namun demikian, proses penilaian ini menjadi pertanyaan
karena tidak ada dasar hukumnya. Permendiknas Nomor 2 Tahun 2008, secara
eksplisit tidak menyebutkan bahwa buku nonpelajaran harus melalui proses
penilaian.
Penyimpangan dalam proses penyediaan buku nonpelajaran
sering terjadi pada tataran sekolah. Dalam Lampiran Permendiknas Nomor 24 Tahun
2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana. Untuk Sekolah secara eksplisit
disebutkan berapa jumlah buku yang harus diadakan oleh sekolah. Kenyataan di
lapangan, sekolah sering menentukan sendiri buku yang disukai. Penyimpangan
lain misalnya buku pengayaan. Seharusnya, buku pengayaan mencakup seluruh mata
pelajaran. Kenyataannya, dalam pemilihan buku pengayaan, sekolah memilih
buku-buku pengayaan tertentu sesuai keinginan sekolah. Akibatnya terjadi
ketimpangan antar mata pelajaran.
Penyebab penyimpangan tersebut kemungkinan dipicu oleh dua
faktor. Pertama, sekolah tidak mengetahui aturannya. Jika karena ini,
pemerintah harus lebih intensif mensosialisasikan kebijakannya. Faktor kedua,
karena adanya mafia proyek. Kalau ini yang terjadi, akibatnya bisa sangat
kompleks. Dalam kasus ini, pemerintah harus tegas. Praktik-praktik mafia dalam
pendidikan harus diberantas secara tuntas karena sangat membahayakan bagi dunia
pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar