WAJIB
BELAJAR 9 TAHUN
Pada
umumnya, orang yakin bahwa dengan pendidikan umat manusia dapat memperoleh
peningkatan dan kemajuan baik di bidang pegetahuan, kecakapan, maupun sikap dan
moral. Suyanto (1993:9), memandang pendidikan sebagai sarana intervensi kehidupan
dan agen pembaharu. Sedangkan Dedi Supriadi (1993:7), meyakininya sebagai
instrumen untuk memperluas akses dan mobilitas sosial dalam masyarakat, baik
vertikal maupun horizontal. Anggapan
dan keyakinan seperti yang dikemukakan di atas akan semakin memantapkan dan
memperkokoh arti pendidikan dalam upaya menciptakan peningkatan kualitas
peserta didik atau yang lebih dikenal upaya pengembangan sumber daya manusia,
terurama dalam era memasuki abad 21 yaitu abad globalisasi.
Memperhatikan
peranan dan misi pendidikan bagi umat manusia ini. tidaklah berlebihan apabila
pihak yang bertanggung jawab di bidang pendidikan menggantungkan harapannya
pada sektor pendidikan dalam rangka mengembangkan dan mengoptimalkan segenap
potensi individu supaya dapat berkembang secara maksimal. jadi sudah selayaknya
apabila setiap warga negara mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan menurut kemampuan. (Dedi Supriadi, 1993:8).
A.
Gagasan Ki Hajar Dewantara yang dijadikan Acuan Wajar 9
Tahun
Ki Hajar
Dewantara tokoh peduli pendidikan yang dengan serius berupaya
menumbuhkan kembali tradisi kejayaan masa lampau negeri ini. Bersama dengan Perguruan
Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa. yang didirikannya
pada tahun 1922.
Sebagai perguruan
nasional, Taman Siswa mempunyai dasar sebagai berikut;
Visi:
Membangun manusia yang beriman dan bertaqwa , merdeka lahir dan batin, berpengetahuan agar menjadi masyarakat yang berguna bagi Nusa dan Bangsa.
Membangun manusia yang beriman dan bertaqwa , merdeka lahir dan batin, berpengetahuan agar menjadi masyarakat yang berguna bagi Nusa dan Bangsa.
Misi:
Menuju pada penguasaan :
Menuju pada penguasaan :
• Prilaku iman dan
taqwa (IMTAQ)
• Ilmu pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK)
• Penerangan Budi
Pekerti (AKHLAK)
Tujuan murni pendidikan yang diinginkan
Taman Siswa seperti termuat dalam Peraturan Besar Taman Siswa bab IV pasal 13
adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur
akal budinya, serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang
berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta
manusia pada umumnya.
Beberapa bagian-bagian Sekolah Taman Siswa :
1.
Taman Indriya (Taman Kanak-kanak) : umur
5-6 tahun
2.
Taman Anak (kelas I-III) : umur 6-10
tahun
3.
Taman Muda (kelas IV-VI) : umur 10-13 tahun
4.
Taman Dewasa (SMP) : umur 13 – 16 tahun
5.
Taman Madya (SMA)
Sebuah kesadaran
akan pentingnya pendidikan bagi rakyat Indonesia muncul sebagai bentuk
perlawanan nonfisik atas penjajahan yang membelenggu Indonesia. Semua itu
didedikasikan untuk memulihkan harkat dan martabat bangsa dan menghilangkan
kebodohan, kekerdilan, dan feodalisme sebagai akibat nyata dari penjajahan. Tamansiswa mengajarkan “Konsep Tringa”
yang terdiri dari ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami) dan nglakoni
(melakukan). Pemikiran Ki
Hajar Dewantara tentang Pendidikan:
1.
Bagaimana
warga masyarakat meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya dan
mempertahankan tatanan sosial.
2. Pendidikan
nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk
keperluan perikehidupan, yang dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya,
sehingga berkedudukan sama dan pantas bekerjasama dengan bangsa lain untuk
kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.
3.
Memberikan pengakuan akan pentingnya
pendidikan budi pekerti.
Sistem
Pendidikan Taman Siswa yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara merupakan sebuah
pola pendidikan yang berusaha menyambungkan kembali benang merah kejayaan
Indonesia pada masa lampau sehingga harkat dan martabat bangsa kita kembali
terangkat. Ki Hajar
Dewantara dalam usaha untuk mewujudkan cita-cita
pendidikan, menggunakan sistem
Tri Pusat Pendidikan dimana harus dilakukan kerjasama antara
tiga pusat pendidikan yang ada yaitu perguruan atau lingkungan sekolah,
keluarga dan lingkungan
masyarakat. Dengan sistem
seperti ini diharapkan setiap pusat pendidikan dapat saling mengisi kekurangan
dalam proses pembelajaran. Setiap pusat pendidikan hendaknya juga memberikan
kontrol dan menciptan lingkungan yang kondusif demi terbangunnya sistem
pendidikan yang harmonis.
Pemerintah banyak belajar dari sistem yang diterapkan
oleh Ki Hajar Dewantara, sistem pendidikan ini masih terus dikembangkan oleh
pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Dari sistem ini
pemerintah menjadikan acuan dalam program wajib belajar 9 tahun yang
dicanangkan sekarang, dimana setiap warga negara Indonesia diberikan kesempatan
yang sama dalam mengenyam pendidikan. Dari usia 6 sampai 15 di kategorikan
untuk mengikuti pendidikan setara SD dan SMP. Namun dalam penyuksesan program
ini ada beberapa pihak yang harus bekerja sama yaitu seperti yang diterapkan
oleh Ki Hajar Dewantara mengenai Tri Pusat pendidikan yaitu perguruan
atau lingkungan sekolah, keluarga dan lingkungan
masyarakat. Pemerintah sebagai
penanggungjawab dalam program ini dan sekaligus memunculkan kebijakan-kebijakan
baru agar program wajib belajar 9 tahun ini dapat berjalan dengan baik. Di
lingkungan sekolah, sebagai pelaksana terjadi proses wajib belajar 9 tahun siap
mengayomi siswa sehingga tercapainya tujuan pendidikan dan wajib belajar 9
tahun. Dan tidak kalah penting di lingkungan keluarga, sebagai pendorong minat
peserta didik untuk mengikuti wajib belajar 9 tahun, sehingga peserta didik
tidak terbebani dalam mengikuti proses belajar.
B.
Wajib Belajar 9 Tahun
Landasan
pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31,
ayat (1) Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
pengajaran. Hal ini mengandung implikasi bahwa sistem pendidikan nasional harus
mampu memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga
negara. Dengan demikian, dalam penerimaan seseorang sebagai peserta didik,
tidak dibenarkan adanya perlakuan yang berbeda yang didasarkan atas jenis
kelarruin, agama, ras, suku, Tatar belakang sosial dan tingkat kemampuan
ekonomi.
Dalam
rangka memperluas kesempatan belajar pendidikan dasar, maka pada tanggal 2 Mel
1994 pemerintah mencanangkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun. lebih
lanjut dikemukakan bahwa tahap penting dalam pembangunan pendidikan adalah
meningkatkan pendidikan wajib belajar 6 tahun menjadi 9 tahun. Pendidikan wajib
belajar 9 tahun menganut konsepsi pendidikan semesta (universal basic
education), yaitu suatu wawasan untuk membuka kesempatan pendidikan dasar. Jadi
sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua dan peserta
didik yang telah cukup umur untuk mengikuti pendidikan, dengan maksud untuk
meningkatkan produktivitas angkatan kerja secara makro.
Maksud
utamanya adalah agar anak-anak memiliki kesempatan untuk terus belajar sampai
dengan usia 15 tahun, dan sebagai landasan untuk belajar lebih lanjut baik
dijenjang pendidikan lebih tinggi maupun di dunia kerja.
Wajib Belajar 9 Tahun merupakan salah satu program
mewajibkan setiap warga negara untuk bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada
jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau
Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau
Madrasah Tsanawiyah (MTs). Ini ditujukan agar semua masyarakat Indonesia berhak
mengenyam pendidikan yang layak dan membantu mengentaskan buta aksara.
Program belajar 9 tahun ini merujuk pada taksonomi
yang dibuat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan di Indonesia mengunakan konsep Taksonomi Bloom.
Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi domain, yaitu:
1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku
yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku
yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga
domain tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara , yaitu: cipta, rasa, dan karsa, yang dikenal dengan istilah
ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan). Dengan penerapan konsep ini diharapkan setiap
warga negara dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu
memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki,
setiap warga negara mampu berperan serta dalani kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara, dan, memberikan jalan kepada siswa untuk melanjutkan
pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
C.
Kendala yang terjadi dalam Menyukseskan Wajar 9 Tahun
Program wajib belajar 9 tahun masih belum dapat berjalan
sesuai rencana, itu semua terjadi karena banyaknya kendala yang
dihadapi dalam penyelenggaraannya.
Adapun kendala dalam penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun,
diantaranya:
1. Belum
semua anak usia wajib belajar 7 – 12 tahun dapat mengikuti pendidikan di
sekolah dasar karena faktor kemiskinan, geografis dan komunitas terpencil;
2. Anak
usia wajib belajar belum memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan
fasilitas belajar yang memadai. Anak-anak di pedesaan, pedalaman, atau
terpencil belajar dengan fasilitas yang serba kekurangan, sebaliknya anak-anak
di perkotaan fasilitas belajarnya relatif sudah memadai. Keadaan ini
menimbulkan ketidakadilan dalam memperoleh pendidikan;
3. Kekurangan
guru di daerah pedalaman atau terpencil masih menjadi kendala bagi pelayanan
proses pembelajaran;
4. Kualitas
guru dalam memberikan pendidikan masih bervariasi, ada guru yang sudah memadai,
ada pula yang harus dikembangkan lagi ke arah yang lebih professional;
5. Kemampuan
guru untuk melakukan pembaharuan (inovasi) dalam proses pembelajaran masih
lemah.
Sekarang dimasyarakat dengan “ujian nasional (UN)” bagi siswa sekolah
dasar (SD)
dirasakan sangat bertolak belakang dan dirasakan mengganggu program Wajar Sembilan Tahun yang tengah digalakkan oleh
pemerintah. Sebab, UN bagi siswa SD itu kelak akan menimbulkan penurunan Angka
Partisipasi Kasar (APK) di tingkat SMP. Dan juga
pertimbangan kesenjangan yang sangat besar antara SD satu dengan SD lainnya. SD
pastinya berada hampir
di tiap desa, oleh karenanya perbedaan kualitas pasti juga relatif besar.
Belajar dari UN tingkat SMP dan SMA lalu, kesenjangan di tingkat ini sudah
begitu kentara, apalagi pada level SD. “Sukses tidaknya
seseorang tidak selamanya didukung oleh aspek kognitif saja. Mereka juga perlu
diberi peningkatan life skill atau keterampilan hidup, khususnya bagi siswa di
tingkat dasar dan menengah, yang nantinya dijadikan bekal baik diperguruan tinggi maupun didunia
kerja” menurut anggota Komisi E DPRD Jateng
lainnya, Dra Aisyah Dahlan.
Winarno secara
pribadi juga menyesalkan adanya rencana UN SD. Sebab SD adalah bagian dari
program wajib belajar 9 tahun, sehingga mestinya pemerintah berusaha
menghilangkan setiap hal yang bisa menjadi kendala pelaksanaan program tersebut.
Sebab bisa saja UN ini bakal menjadi kendala penuntasan Wajar 9 tahun. UN dirasa menjatuhkan siswa, karena memakai patokan
dalam meluluskan siswa, melenceng dari tujuan pendidikan kita, yaitu mengunakan
konsep Taksonomi
Bloom. Ada tiga aspek yang digunakan sebagai hasil ketercapaian siswa dalam
belajar, tidak hanya dengan melihat hasil UN yang berlangsung beberapa hari saja.
D.
Ketercapaian dan Upaya Pemerintah Menyukseskan Wajar 9
Tahun
Dilihat dari
masalah-masalah dalam menyelenggarakan wajib belajar sembilan tahun, pemerintah
bisa dikatakan belum sepenuhnya sekses dalam menjalankan program wajar 9 tahun
ini. Terutama dalam masalah biaya pendidikan dan keadilan dalam memperoleh
pendidikan. Dilihat dari tahun 2003 masih banyak anak usia sekolah yang tidak
dapat mengikuti pendidikan, salah satu alasan rendahnya partisipasi
pendidikan khususnya pada kelompok miskin adalah tingginya biaya pendidikan.
Pada bulan Juli
2005 diselenggarakan konsep sekolah gratis bagi siswa SD dan SMP dan sederajat.
Namun pengertian gratis masih menjadi perdebatan. Gratis yang dimaksud bukan
gratis untuk segalanya, namun gratis yang terbatas.
Penerapan wajib belajar 9 tahun juga belum bisa sepenuhnya
bisa dinikmati seluruh masyarakat Indonesia khususnya bagi golongan kurang mampu.
Bagaimana tidak? Seseorang yang berasal dari keluarga yang kurang mampu akan
lebih memilih untuk bekerja membanting tulang hanya untuk memenuhi kebutuhan
makannya saja ketimbang untuk bersekolah. Mereka menganggap
bersekolah hanya membuang waktunya untuk mencari penghidupan.
Nanum pada tahun
2007 pemerintah memberikan kebijakan baru untuk mendukung program wajib belajar
9 tahun dan dunia pendidikan dengan memberikan Bantuan operasional sekolah
(BOS). Sebagai bukti bahwa pemerintah sangat peduli dengan kualitas pendidikan
bagi anak-anak bangsa. Ini juga merupakan bagian dari mensukseskan program
wajib belajar 9 tahun. Pemerintah jelas ingin membantu warga dalam membiayai
dana pendidikan anak-anak dari tingkat SD kelas satu sampai kelas 9 SMP.
Dana BOS bisa juga
digunakan untuk :
1. Penerimaan
murid baru
2.
Pembelian buku pelajaran terutama untuk perpustakaan
sekolah
3.
Pembelajaran pengayaan, ekskul misalnya.
5.
Pembelian bahan praktikum, dan peralatan ATK di kelas
7.
Biaya perawatan sekolah
8.
Membayar honorarium SDM honorer
9.
Peningkatan SDM pengajar
·
Membantu dana transport anak miskin ke dan dari
sekolah
·
Jika semua sudah terpenuhi, baru boleh digunakan untuk
membeli alat peraga, media belajar dan furniture untuk sekolah.
Disamping itu,
walaupun pemerintah telah menyediakan bantuan berupa dana Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), namun hal itu belum bisa membuat program wajar 9 tahun berjalan
lancar. Yang menjadi
kendala, buku pelajaran untuk mengikuti pendidikan masih terasa diberatkan. Di tambah lagi
kurikulum yang terus diganti oleh pemerintah, otomatis buku pelajaran yang
digunakan akan berubah hampir setiap tahunnya. Ini masih memberatkan bagi siswa
yang kurang mampu untuk mengikuti proses belajar dengan baik. Di
samping itu, faktor lain yang menghambap program ini dapat berjalan dengan baik
adalah faktor geografis dimana anak yang berada di daerah terpencil kurang bisa
mengenyam pendidikan karena sulitnya daerah yang dicapai. Ini yang harus dipikirkan pemerintah kedepannya agar
semua anak di Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang sebagaimana mestinya.
Program ini juga belum sepenuhnya sempurna dilihat dari
jangka umur yang diwajibkan dari umur 7 – 15 tahun, dirasakan anak SD dan SMP, yang tingkat kematangannya belum sempurna. Sehingga dianggap belum pantas dan siap
untuk masuk kedunia kerja dan terjun kemasyarakat. Setelah di tingakt SMP diharapkan melanjutkan kembali ke SMA
apabila ingin melanjutkan ke perguruan tinggi maupun ke SMK untuk mendapatkan
keterampilan dan pengalaman kerja yang lebih. Ini menjadi tugas kita semua
tidak hanya pemerintah, guna menciptakan SDM yang berkualitas.
E.
Kesimpulan
Dilihat
dari jangka umur yang diwajibkan pada wajib belajar
9tahun, dari umur 7 – 15 tahun, yang
tingkat kematangannya belum sempurna dianggap belum pantas dan siap untuk masuk kedunia kerja
dan terjun kemasyarakat
Dari paparan yang
telah disampaikan, dapat disimpulkan upaya pemerintah untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun
dan meminimalisir buta aksara, belum tercapai secara optimal. Ini terbukti
dengan : masih
banyaknya anak-anak usia7 – 15 tahun yang belum mendapat pendidikan yang layak
dikarenakan biaya yang terbilang mahal.
1. Belum
semua anak usia wajib belajar 7 – 12 tahun dapat mengikuti pendidikan di
sekolah dasar karena faktor kemiskinan, geografis dan komunitas terpencil;
2. Anak
usia wajib belajar belum memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan
fasilitas belajar yang memadai. Anak-anak di pedesaan, pedalaman, atau
terpencil belajar dengan fasilitas yang serba kekurangan, sebaliknya anak-anak
di perkotaan fasilitas belajarnya relatif sudah memadai. Keadaan ini
menimbulkan ketidakadilan dalam memperoleh pendidikan;
3. Kekurangan
guru di daerah pedalaman atau terpencil masih menjadi kendala bagi pelayanan
proses pembelajaran;
4. Kualitas
guru dalam memberikan pendidikan masih bervariasi, ada guru yang sudah memadai,
ada pula yang harus dikembangkan lagi ke arah yang lebih professional;
5. Kemampuan
guru untuk melakukan pembaharuan (inovasi) dalam proses pembelajaran masih
lemah.
0 komentar:
Posting Komentar